Walaupun telah dianalisis olih pihak Belanda tapi sirr ALLAH AZWAJALLAH tetap sirr.
Blog ini bukan untuk mencari keuntungan tetapi hanya mencari keredhaan ILLAHI.Wajib mencari ALLAH sebelum mencari keturunan. Mengenali ALLAH yang maha esa maka hati akan terbuka mencari silsilah dan wasilah.
Friday, 22 July 2011
Wednesday, 20 July 2011
Sayyidah Nafisah Bint Sayyid Hasan Al Anwar – Sosok Istiqomah Pemilik Aneka Karamah
Adalah sosok yg begitu teguh memegang prinsip istiqomah sehingga wajar apabila kemudian Allah SWT memberinya beberapa karamah (kekeramatan) langka yg jarang di miliki orang lain. Dialah Sayyidah (sebutan untuk keturunan Nabi) Nafisah puteri dari Sayyid Hasan Al Anwar bin Sayyid Zaid Al Ablaj bin Sayyidina Hasan(Cucu Nabi) bin Ali bin Abu Thalib KW.
Sosok perempuan tegar dalam menghambakan diri kepada Sang Khaliq ini layak di jadikan panutan oleh umat Islam pada umumnya dan Kaum Hawa pada khususnya. Wanita mulia yang lahir di Mekkah tahun 145H& tumbuh besar di Madinah ini begitu getol & Istiqomah dalam kegiatan beribadah yang total dan berperilaku Zuhud(menghindari gemerlap duniawi)
Tak jarang beliau meneteskan deraian air matanya saat bermunajat kepada Allah SWT dan memegang erat-erat satir Ka’bah seraya mengucapkan untaian doa,”Ya Tuhanku, Ya Tuanku dan Penguasaku, berikan aku anugerahMu. Dan gembirakan aku dengan ridhaMu kepadaku, tiada jalan yang aku tempuh yang akan jadi penghalang antara Engkau dan aku.”
Zainab puteri dari Yahya Al Mutawwaj(Saudara Sayyidah Nafisah) pernah mengatakan,”Aku pernah berkhidmah kepada bibiku Nafisah selama 40tahun. Dan selama itu pula tak pernah sekalipun aku melihatnya tidur malam atau tidak berpuasa sewaktu siang. Sehingga aku bilang kepadanya,’ Bibi, apa engkau tidak kasihan pada dirimu?’ Dia pun menjawab,
‘Bagaimana aku akan meninggalkan kebiasaanku ini. Sementara kakiku akan menjadi jejak-jejak yg tiada di tempuh melainkan orang-orang yang beruntung.’ ”
Menurut riwayat Al-Qusha’i bahwa suatu ketika Zainab pernah di tanya mengenai cara makannya Sayyidah Nafisah. Dia menjawab,”Sayyidah Nafisah itu makanya satu kali setiap tiga hari. Sayyidah Nafisah memiliki keranjang yg beliau letakkan di depan Mushallanya. Dan setiap ia menginginkan seseatu maka pasti tahu-tahu telah tersedia dalam keranjang tersebut. Dan aku juga menyaksikan hal itu sungguh tak pernah terbayangkan oleh benakku. Dan aku tak pernah tahu siap yg memberinnya. Aku merasa heran sekali atas kejadian itu.”
Sayyidah Nafisah berkata,”Hai Zainab, barangsiapa istiqamah bersama Allah niscaya dunia ini berada dalam genggamannya dan tunduk kepadanya.”
Wanita yg masih keturunan Nabi ini tidak hanya hafal Al Qur’an saja, tapi juga hafal tafsirnya. Dia begitu istiqomahnya dalam mengaji Al Qur’an seraya berdo’a,”Ya Tuhanku, Ya Tuanku, berikan aku kemudahan untuk berkunjung ke (maqam) kekasih-Mu Ibrahim As.”
Maka tak selang lama beliau bersama suami tercintanya, Ishaq Al Mu’taman bin Ja’far As-Shadiq mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji. Dan setelah beribadah haji keduanya menuju Mesir (Kairo) untuk tinggal di sana. Untuk sementara beliau tinggal di Al-Manshushah tepatnya di rumah seorang bernama Umi Hani’ (Salah satu familinya)
Di sekitar kediaman beliau tinggallah keluarga Yahudi bersama puterinya yang lumpuh. Suatu ketika ibunya berkata,”Saya akan pergi ke Al Hamam dan saya tidak tahu harus berbuat apa dengan mu, apakah kami harus membopongmu?”
Anaknya menjawab,”Saya tak bisa membiarkan ibu merepotkan diri seperti itu.” Ibunya berkata,”Atau mungkin kamu tinggal saja di rumah hingga kami kembali?” Anaknya menjawab,”Jangan, Bu. Titipkan saja aku di rumah Sayyidah Nafisah.”
Dan ibu anak lumpuh tersebut setuju. Kemudian diapun mendatangi kedìaman Sayyidah Nafisah seraya menitipkan putrinya tersebut dan kemudian diapun berlalu pergi.
Ketika waktu shalat Dhuhur tiba, Sayyidah Nafisah mengambil air untuk berwudlu’ & tiba-tiba dari air wudlu tersebut ada sesuatu yg keluar dan mendekati si bocah lumpuh itu. Maka beliau mengurutkan sesuatu itu pada beberapa bagian tubuh si bocah dan secara ajaib dengan seizin Allah SWT si bocah sembuh total dari kelumpuhannya.
Ketika keluarganya pulang si bocah pun menyambut mereka dengan berjalan kaki dan tentu saja keluarga Yahudi tersebut terheran-heran melihat peristiwa ajaib itu. Bagaimana anaknya yg selama lumpuh itu tiba-tiba bisa berjalan normal. Dan setelah anaknya menceritakan kejadian yg di alaminya maka mereka pun masuk Islam.
Menurut Al Hasan bin Zulaq, pasca peristiwa menggemparkan itu banyak orang yg berdatangan ke kediaman Sayyidah Nafisah. Beritapun kian tersebar& orang-orangpun kian berdatangan. Namun hal itu malah membuat Sayyidah Nafisah merasa kurang enak, sehingga diapun meminta untuk pindah dari Kairo menuju Hijaz (Mekkah& sekitarnya), tempat di mana sanak saudaranya tinggal di sana. Namun atas bujukan Al Sariy bin Hakam, penguasa Mesir saat itu agar Sang Sayyidah berkenan tinggal di Mesir,maka beliaupun berkenan tinggal di sana sampai wafat, Di Kairo.
Menurut Ibnu Al Mulaqqin bahwa ketika Imam Syafi’i tiba di Mesir, beliau sering berkunjung ke kediaman Sayyidah Nafisah. Dan bahkan As-Syafi’i pernah shalat Tarawih di masjidnya Sayyidah Nafisah& mengunjungi beliau dalam rangka meminta doa kepada Sayyidah yg di kenal dengan Istiqomah dan karomahnya tersebut.Wallahu A’laam
Dari Majalah Cahaya Nabawiy No.50 Th.V Rabiu’l Awwal 1428/April 2007
Sosok perempuan tegar dalam menghambakan diri kepada Sang Khaliq ini layak di jadikan panutan oleh umat Islam pada umumnya dan Kaum Hawa pada khususnya. Wanita mulia yang lahir di Mekkah tahun 145H& tumbuh besar di Madinah ini begitu getol & Istiqomah dalam kegiatan beribadah yang total dan berperilaku Zuhud(menghindari gemerlap duniawi)
Tak jarang beliau meneteskan deraian air matanya saat bermunajat kepada Allah SWT dan memegang erat-erat satir Ka’bah seraya mengucapkan untaian doa,”Ya Tuhanku, Ya Tuanku dan Penguasaku, berikan aku anugerahMu. Dan gembirakan aku dengan ridhaMu kepadaku, tiada jalan yang aku tempuh yang akan jadi penghalang antara Engkau dan aku.”
Zainab puteri dari Yahya Al Mutawwaj(Saudara Sayyidah Nafisah) pernah mengatakan,”Aku pernah berkhidmah kepada bibiku Nafisah selama 40tahun. Dan selama itu pula tak pernah sekalipun aku melihatnya tidur malam atau tidak berpuasa sewaktu siang. Sehingga aku bilang kepadanya,’ Bibi, apa engkau tidak kasihan pada dirimu?’ Dia pun menjawab,
‘Bagaimana aku akan meninggalkan kebiasaanku ini. Sementara kakiku akan menjadi jejak-jejak yg tiada di tempuh melainkan orang-orang yang beruntung.’ ”
Menurut riwayat Al-Qusha’i bahwa suatu ketika Zainab pernah di tanya mengenai cara makannya Sayyidah Nafisah. Dia menjawab,”Sayyidah Nafisah itu makanya satu kali setiap tiga hari. Sayyidah Nafisah memiliki keranjang yg beliau letakkan di depan Mushallanya. Dan setiap ia menginginkan seseatu maka pasti tahu-tahu telah tersedia dalam keranjang tersebut. Dan aku juga menyaksikan hal itu sungguh tak pernah terbayangkan oleh benakku. Dan aku tak pernah tahu siap yg memberinnya. Aku merasa heran sekali atas kejadian itu.”
Sayyidah Nafisah berkata,”Hai Zainab, barangsiapa istiqamah bersama Allah niscaya dunia ini berada dalam genggamannya dan tunduk kepadanya.”
Wanita yg masih keturunan Nabi ini tidak hanya hafal Al Qur’an saja, tapi juga hafal tafsirnya. Dia begitu istiqomahnya dalam mengaji Al Qur’an seraya berdo’a,”Ya Tuhanku, Ya Tuanku, berikan aku kemudahan untuk berkunjung ke (maqam) kekasih-Mu Ibrahim As.”
Maka tak selang lama beliau bersama suami tercintanya, Ishaq Al Mu’taman bin Ja’far As-Shadiq mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji. Dan setelah beribadah haji keduanya menuju Mesir (Kairo) untuk tinggal di sana. Untuk sementara beliau tinggal di Al-Manshushah tepatnya di rumah seorang bernama Umi Hani’ (Salah satu familinya)
Di sekitar kediaman beliau tinggallah keluarga Yahudi bersama puterinya yang lumpuh. Suatu ketika ibunya berkata,”Saya akan pergi ke Al Hamam dan saya tidak tahu harus berbuat apa dengan mu, apakah kami harus membopongmu?”
Anaknya menjawab,”Saya tak bisa membiarkan ibu merepotkan diri seperti itu.” Ibunya berkata,”Atau mungkin kamu tinggal saja di rumah hingga kami kembali?” Anaknya menjawab,”Jangan, Bu. Titipkan saja aku di rumah Sayyidah Nafisah.”
Dan ibu anak lumpuh tersebut setuju. Kemudian diapun mendatangi kedìaman Sayyidah Nafisah seraya menitipkan putrinya tersebut dan kemudian diapun berlalu pergi.
Ketika waktu shalat Dhuhur tiba, Sayyidah Nafisah mengambil air untuk berwudlu’ & tiba-tiba dari air wudlu tersebut ada sesuatu yg keluar dan mendekati si bocah lumpuh itu. Maka beliau mengurutkan sesuatu itu pada beberapa bagian tubuh si bocah dan secara ajaib dengan seizin Allah SWT si bocah sembuh total dari kelumpuhannya.
Ketika keluarganya pulang si bocah pun menyambut mereka dengan berjalan kaki dan tentu saja keluarga Yahudi tersebut terheran-heran melihat peristiwa ajaib itu. Bagaimana anaknya yg selama lumpuh itu tiba-tiba bisa berjalan normal. Dan setelah anaknya menceritakan kejadian yg di alaminya maka mereka pun masuk Islam.
Menurut Al Hasan bin Zulaq, pasca peristiwa menggemparkan itu banyak orang yg berdatangan ke kediaman Sayyidah Nafisah. Beritapun kian tersebar& orang-orangpun kian berdatangan. Namun hal itu malah membuat Sayyidah Nafisah merasa kurang enak, sehingga diapun meminta untuk pindah dari Kairo menuju Hijaz (Mekkah& sekitarnya), tempat di mana sanak saudaranya tinggal di sana. Namun atas bujukan Al Sariy bin Hakam, penguasa Mesir saat itu agar Sang Sayyidah berkenan tinggal di Mesir,maka beliaupun berkenan tinggal di sana sampai wafat, Di Kairo.
Menurut Ibnu Al Mulaqqin bahwa ketika Imam Syafi’i tiba di Mesir, beliau sering berkunjung ke kediaman Sayyidah Nafisah. Dan bahkan As-Syafi’i pernah shalat Tarawih di masjidnya Sayyidah Nafisah& mengunjungi beliau dalam rangka meminta doa kepada Sayyidah yg di kenal dengan Istiqomah dan karomahnya tersebut.Wallahu A’laam
Dari Majalah Cahaya Nabawiy No.50 Th.V Rabiu’l Awwal 1428/April 2007
Labels:
Ahlulbait,
Sayyidah Nafisah
Monday, 18 July 2011
NILAI SETIAP NAFAS
Berkata Kalam Hikmah Sheikh Ibni Atho'illah As-Kandari :
Tiada nafas yang engkau keluarkan itu, melainkan adalah bagi nafas itu kadar (nilai) yang dilaluinya.
Pengertian dan Huraiannya :
Sesungguhnya segala nafas seorang hamba itu dikira-kirakan (dihitung dan dinilai) atasnya, kerana bahawasanya setiap nafas itu menghendaki ia Tajali (pembukaan/pendzahiran hakikat) dan demikian Tajali mewajibkan ma'rifat dan demikian ma'rifat mewajibkan bagi hamba itu 'Ubudiah dan sekurang-kurang 'Ubudiah itu diam di bawah segala takdir Allah kerana melihat hamba akan lemah dirinya (Hakikat Kehambaan) dan bersendirian Tuhannya dengan Kebesaran-Nya (Hakikat Ketuhanan).
Keterangan Suluk
Setiap nafas menghendaki ia Tajali.
Dalam setiap detik kehidupan yang dihitungkan dengan kiraan nafas
yang ada pada kita, sememangnya setiap nafas yang kita sedut dan
hembus itu sentiasa menanti-nanti dan bersedia untuk menerima Tajali daripada Al-Haq. Tajali inilah yang akan membukakan sirr (rahsia terhalus dari mata hati) kita untuk melihat hakikat kewujudan Allah dan bagaimana hakikat itu didzahirkan.
(* namun ini bukanlah berarti bahwa Allah Ta'ala akan mewujud sebagai sosok makhluk. Inilah Hakikat Tajalli yang Sebenarnya. Dzat Allah tetaplah sebagai Dzat-Nya, dan dzat makhluk tetaplah sebagai dzatnya. Allah Ta'ala lah Sang Dalang/Sutradara atas semuanya, dan kita semua sebagai makhluk-Nya tetaplah sebagai wayang/aktor-Nya.)
Contohnya apabila seorang kawan memberi hadiah kepada kita, pandangan mata hati kita pada saat dan ketika itu akan terbuka dan melihat Allah yang menganugerahkan hadiah itu. Tidak terlihat lagi (hilang/fana) kawan kita tadi. Jika kita nampak juga kawan kita tadi, pandangan kita akan melihat bagaimana Allah mendzahirkan nikmat itu melalui pentadbiran-Nya, dengan menghantar kawan kita sebagai pembawa hadiah dari-Nya. Terbukanya hakikat pendzahiran inilah dikatakan sebagai Tajali dari Allah Ta'ala. Dengan demikian Tajali mewajibkan ma'rifat.
Apabila terbuka hakikat ketuhanan dan terdzahir pada kita kita Tauhid
Rububiyah melalui Tajali di atas, bererti seseorang itu telah dikatakan mencapai ma'rifat ('Arif Billah). Dengan ma'rifat ini seorang hamba itu dapat membezakan:
- antara yang haq (Allah) dan yang bathil (makhluk)
- antara yang benar-benar Wujud (Zat Allah) dan Wujud yang
'Aridi/baru (Wujud Makhluk)
- antara hakikat ketuhanan dan hakikat kehambaan
Inilah apa yang dikatakan dengan Tajali Allah,seorang hamba itu
mendapat ma'rifat.
Dan demikian ma'rifat mewajibkan bagi hamba itu 'Ubudiah.
Apabila seorang hamba yang memiliki ma'rifat tadi dapat membezakan
bahawa Allah bersifat dengan Qhani (Kaya), Qawi (Kuasa), Qadir
(Kehendak), 'Aziz (Mulia) dan Kamalat (Sempurna), sedangkan hamba
bersifat dengan Fakir, Dhoif, Lemah, Kurang dan Hina, sudah tentulah
hamba itu mempunyai kesedaran yang tinggi tentang tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebagai seorang hamba kepada Tuhannya. Kesedaran yang tinggi inilah akan meningkatkan darjah keimanannya di mana ia harus taat dan patuh kepada apa sahaja yang Allah khitabkan (perintahkan). Hamba ini akan menjadi hamba yang tahu diri di mana sekurang-kurangnya ia wajib redho atas apa yang berlaku dalam kehidupannya sama ada nikmat, taat dan bala. Samalah seperti kita katakan matahari ma'rifat itu menghapuskan
kegelapan perjalanan Salik. Maka adalah tiap-tiap nafas itu merupakan Salik berjalan kepada Tuhannya. Kerana inilah telah mengisyaratkan Ulama/Sufi dengan perkataannya :
"Bermula jalan kepada Allah Ta'ala itu adalah sebanyak bilangan nafas
makhluk. Maka dalam bilangan nafas dalam sehari semalam itu ialah dua puluh empat ribu (24.000)."
Demikianlah adab hamba itu dalam segala nafasnya dijadikan bagi
Tuhannya agar tiada dipergunakan untuk membuat maksiat kepada Allah. Ini adalah kerana bahawasanya nafas itu merupakan gedung tempat simpanan segala amalnya yang memberi manfaat bagi sang hamba.
Terdapat setengah daripada kaum sufiah berpandangan ,dibilangkan
(dihitungkan) juga sesuatu yang dapat meluputkan setengah daripada
nafasnya itu ialah pada ketika mengunyah makanan apabila makan. Ini adalah bertujuan supaya janganlah sang hamba Istighol (bimbang)
pada segala nafas dalam makan, selain daripada zikir.
Inilah muraqabah yang tinggi pada makam Al-Suluk.
Tiada nafas yang engkau keluarkan itu, melainkan adalah bagi nafas itu kadar (nilai) yang dilaluinya.
Pengertian dan Huraiannya :
Sesungguhnya segala nafas seorang hamba itu dikira-kirakan (dihitung dan dinilai) atasnya, kerana bahawasanya setiap nafas itu menghendaki ia Tajali (pembukaan/pendzahiran hakikat) dan demikian Tajali mewajibkan ma'rifat dan demikian ma'rifat mewajibkan bagi hamba itu 'Ubudiah dan sekurang-kurang 'Ubudiah itu diam di bawah segala takdir Allah kerana melihat hamba akan lemah dirinya (Hakikat Kehambaan) dan bersendirian Tuhannya dengan Kebesaran-Nya (Hakikat Ketuhanan).
Keterangan Suluk
Setiap nafas menghendaki ia Tajali.
Dalam setiap detik kehidupan yang dihitungkan dengan kiraan nafas
yang ada pada kita, sememangnya setiap nafas yang kita sedut dan
hembus itu sentiasa menanti-nanti dan bersedia untuk menerima Tajali daripada Al-Haq. Tajali inilah yang akan membukakan sirr (rahsia terhalus dari mata hati) kita untuk melihat hakikat kewujudan Allah dan bagaimana hakikat itu didzahirkan.
(* namun ini bukanlah berarti bahwa Allah Ta'ala akan mewujud sebagai sosok makhluk. Inilah Hakikat Tajalli yang Sebenarnya. Dzat Allah tetaplah sebagai Dzat-Nya, dan dzat makhluk tetaplah sebagai dzatnya. Allah Ta'ala lah Sang Dalang/Sutradara atas semuanya, dan kita semua sebagai makhluk-Nya tetaplah sebagai wayang/aktor-Nya.)
Contohnya apabila seorang kawan memberi hadiah kepada kita, pandangan mata hati kita pada saat dan ketika itu akan terbuka dan melihat Allah yang menganugerahkan hadiah itu. Tidak terlihat lagi (hilang/fana) kawan kita tadi. Jika kita nampak juga kawan kita tadi, pandangan kita akan melihat bagaimana Allah mendzahirkan nikmat itu melalui pentadbiran-Nya, dengan menghantar kawan kita sebagai pembawa hadiah dari-Nya. Terbukanya hakikat pendzahiran inilah dikatakan sebagai Tajali dari Allah Ta'ala. Dengan demikian Tajali mewajibkan ma'rifat.
Apabila terbuka hakikat ketuhanan dan terdzahir pada kita kita Tauhid
Rububiyah melalui Tajali di atas, bererti seseorang itu telah dikatakan mencapai ma'rifat ('Arif Billah). Dengan ma'rifat ini seorang hamba itu dapat membezakan:
- antara yang haq (Allah) dan yang bathil (makhluk)
- antara yang benar-benar Wujud (Zat Allah) dan Wujud yang
'Aridi/baru (Wujud Makhluk)
- antara hakikat ketuhanan dan hakikat kehambaan
Inilah apa yang dikatakan dengan Tajali Allah,seorang hamba itu
mendapat ma'rifat.
Dan demikian ma'rifat mewajibkan bagi hamba itu 'Ubudiah.
Apabila seorang hamba yang memiliki ma'rifat tadi dapat membezakan
bahawa Allah bersifat dengan Qhani (Kaya), Qawi (Kuasa), Qadir
(Kehendak), 'Aziz (Mulia) dan Kamalat (Sempurna), sedangkan hamba
bersifat dengan Fakir, Dhoif, Lemah, Kurang dan Hina, sudah tentulah
hamba itu mempunyai kesedaran yang tinggi tentang tanggung jawab yang harus dilaksanakan sebagai seorang hamba kepada Tuhannya. Kesedaran yang tinggi inilah akan meningkatkan darjah keimanannya di mana ia harus taat dan patuh kepada apa sahaja yang Allah khitabkan (perintahkan). Hamba ini akan menjadi hamba yang tahu diri di mana sekurang-kurangnya ia wajib redho atas apa yang berlaku dalam kehidupannya sama ada nikmat, taat dan bala. Samalah seperti kita katakan matahari ma'rifat itu menghapuskan
kegelapan perjalanan Salik. Maka adalah tiap-tiap nafas itu merupakan Salik berjalan kepada Tuhannya. Kerana inilah telah mengisyaratkan Ulama/Sufi dengan perkataannya :
"Bermula jalan kepada Allah Ta'ala itu adalah sebanyak bilangan nafas
makhluk. Maka dalam bilangan nafas dalam sehari semalam itu ialah dua puluh empat ribu (24.000)."
Demikianlah adab hamba itu dalam segala nafasnya dijadikan bagi
Tuhannya agar tiada dipergunakan untuk membuat maksiat kepada Allah. Ini adalah kerana bahawasanya nafas itu merupakan gedung tempat simpanan segala amalnya yang memberi manfaat bagi sang hamba.
Terdapat setengah daripada kaum sufiah berpandangan ,dibilangkan
(dihitungkan) juga sesuatu yang dapat meluputkan setengah daripada
nafasnya itu ialah pada ketika mengunyah makanan apabila makan. Ini adalah bertujuan supaya janganlah sang hamba Istighol (bimbang)
pada segala nafas dalam makan, selain daripada zikir.
Inilah muraqabah yang tinggi pada makam Al-Suluk.
Telah menghitungkan akan kepentingan nafas itu dari segala orang-orang yang dahulu. Tetapi setengah daripada mereka itu berpendapat yang terlebih akmal (sempurna) padanya ialah muraqobah "Thorfatal 'Aini", iaitu setiap kerlipan mata.
Dan adalah pengertian muraqabah itu ialah mentahkidkan hati dengan
menilik hak Allah Ta'ala dalam batinnya dan dalam zahirnya pada
Dan adalah pengertian muraqabah itu ialah mentahkidkan hati dengan
menilik hak Allah Ta'ala dalam batinnya dan dalam zahirnya pada
tiap-tiap masa. Barangsiapa memeliharakan (menilik hak Allah) dalam
setiap nafasnya, maka hendaklah dihentikannya (tetap dan istiqomah)
sekelian ahwalnya (hal dan gerak geriknya). Maksudnya adalah kehidupan hariannya sentiasa tetap dengan ibadat dengan perhatiannya kepada menilik kepada Allah dalam setiap kelakuan makhluk. Setengah daripada faedah ataupun hikmah memandang takdir Ilahiyah itu ialah dapat meninggalkan tadbir (usaha dan ikhtiar kita) seperti yang dikata oleh setengah kaum sufiah dengan kata mereka :
Telah luluslah (berlaku) segala takdir Tuhan dan hukum-Nya. Maka
senangkanlah hatimu daripada mengharap-harap dan daripada menyesal.
Keterangan Suluk
Inilah sebahagian daripada kunci ketenangan dan kebahagian yang ada pada kaum sufiah. Benarlah kata kaum ini kerana kita banyak penat dan lelah dalam mengusahakan keperluan kehidupan harian kita kerana kita merasakan kita mampu membuat banyak pilihan dan menentukan sesuatu sedangkan hakikatnya memang Allah yang sudah memilih dan menentukan sesuatu untuk kita.
Sebagai pengakhirnya, renungilah dengan ikhlas kata-kata Imam Besar Tasauf Sheikh Junaid Al-Bagdadi, iaitu : "Orang yang paling agung ialah orang yang menyerahkan kehendaknya kepada kehendak Allah dan dia sentiasa redho sepenuh hatinya dengan Allah".
setiap nafasnya, maka hendaklah dihentikannya (tetap dan istiqomah)
sekelian ahwalnya (hal dan gerak geriknya). Maksudnya adalah kehidupan hariannya sentiasa tetap dengan ibadat dengan perhatiannya kepada menilik kepada Allah dalam setiap kelakuan makhluk. Setengah daripada faedah ataupun hikmah memandang takdir Ilahiyah itu ialah dapat meninggalkan tadbir (usaha dan ikhtiar kita) seperti yang dikata oleh setengah kaum sufiah dengan kata mereka :
Telah luluslah (berlaku) segala takdir Tuhan dan hukum-Nya. Maka
senangkanlah hatimu daripada mengharap-harap dan daripada menyesal.
Keterangan Suluk
Inilah sebahagian daripada kunci ketenangan dan kebahagian yang ada pada kaum sufiah. Benarlah kata kaum ini kerana kita banyak penat dan lelah dalam mengusahakan keperluan kehidupan harian kita kerana kita merasakan kita mampu membuat banyak pilihan dan menentukan sesuatu sedangkan hakikatnya memang Allah yang sudah memilih dan menentukan sesuatu untuk kita.
Sebagai pengakhirnya, renungilah dengan ikhlas kata-kata Imam Besar Tasauf Sheikh Junaid Al-Bagdadi, iaitu : "Orang yang paling agung ialah orang yang menyerahkan kehendaknya kepada kehendak Allah dan dia sentiasa redho sepenuh hatinya dengan Allah".
Labels:
NAFAS
URGENSI MURSYID DALAM TAREKAT
Mursyid
Mursyid Dalam Tarekat
Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalam hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.
Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
***
Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.
Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalam hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.
Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
***
Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.
Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
Labels:
MURSYID
Sunday, 17 July 2011
HAKIKAT
Dalam pengajian Ilmu Hakikat adalah dilarang sama sekali mendatangi dan juga pengetahuan ini di sampaikan kepada Ulama Syarii dan adalah di nasihatkan supaya bertanya, berguru dengan ahli hakikat lagi makrifat lagi Mursyid.Jangan sesekali kata sesat nescaya sesat itu akan balik pada diri sendiri yang mengata.!!!
Selain dari cara syariaat dan cara tarikat,terdapat satu lagi untuk merapatkan hubungan antara hamba dan tuhannya iaitu cara jalan hakikat.Cara hakikat merupakan cara yang ketiga iaitu satu cara mendalami ilmu hakikat dengan menyelami dan mengenali diri sendiri, yang merupakan satu - satu jalan yang di lalui oleh wali - wali Allah, ariffinbillah dan para - para aulia.
Bagi mereka yang ingin melalui cara hakiki ini adalah di nasihatkan terlebih dahulu melalui cara Tarukat dan berjaya pula membersihkan dirinya dari dari segala bentuk syirik “saghir”, syirik “khafi” dan dan syirik “jalli.” Mereka hendaklah menjalani perguruan dengan guru - guru hakiki dan makrifat serta muryid yang mempunyai pengetahuan yang luas serta mencapai pula ke tahap martabatnya.#Untuk pengetahuan lebih jelas silalah bertanya dengan guru - guru, makrifat lagi mursyid.
Orang - orang hakiki yang sampai pada martabatnya bukan saja mulia di sisi Allah malah mendapat pula kemuliannya di tengah masyarakat. Adalah perlu ditegaskan di sini matlamat akhir pengajian HAKIKAT adalah untuk megembalikan diri Asal Mu Mula Allah iaitu pada Zahir dan Batin yakni pada diri zahir dan diri batin pada martabat kemuliaan insan Kamil mukamil. Tiada sesuatu pun pada dirinya kecuali Allah semata - mata. Dan balik mu semula Allah.
Untuk itu pengajian hakikat ini mestilah ada kesinambungan dengan pengajian Makrifat. Sesungguhnya kata hakikat dan makrifat dua perkataan yang tidak boleh di pisahkan.
1. MARTABAT TUJUH
Dalam memperkatan Alam Tujuh atau Martabat Tujuh ini, ia tidak lepas dari memperkatakan “Asal Mu Mula Balik Semula Pada Tuhan” Ini di sandarkan firman Nya yang bermaksud ;
“
Jatuh hujunnya Asal Mu Allah Balik Mu semula Allah.
Oleh itu disini dua aspek utama diperkatakan;
1. Asal Kejadian Manusia yang dinyatakan melalui penjelasan pada Martabat Tujuh Atau Martabat Alam Insan.
2. Balik Mu semula Allah iaitu memperkatakan persiapan untuk menyarah atau mengembalikan Diri rahsia yang di kandung oleh jasad sebagaimana asalnya suci bersih.
Diri Empunya Diri mentajallikan dirinya dari satu martabat ke satu martabat atau dari satu alam ke satu satu alam.Dalam kita memperkatakan alam atau Martabat Tujuh atau Martabat Alam Insan yang dikenali juga Martabat tujuh, terkandung ia di dalam Surah Al-Ikhlas di dalam Al Quran iaitu dalam menyatakan tentang kewujudan Allah yang menjadi diri rahsia kepada manusia itu sendiri dan memperkatakan pada proses pengujudan Allah untuk diterima oleh manusia sebagai diri rahsianya.
Proses pemindahan atau Tajalli Zat Allah S.W.T bermula dari Alam Qaibbul-Quyyub, terbentuk diri zahir dan diri batin manusia ketika ianya mulai bernafas di dalam kandungan ibu kemudiannya zahir ke dunia iaitu kerana pada martabat Qaibbul-Guyyub adalah merupakan martabat manusia yang paling tingggi, suci dan inilah martabat yang benar-benar di redhai oleh Allah S.W.T.
Diri manusia pada martabat “Insannul-Kamil” adalah sebatang diri yang suci mutlak pada zahir dan batin,tiada cacat celanya dengan Allah S.W.T. iaitu Tuan Empunya Rahsia. Lantaran itu Rasul Allah S.A.W pernah menegaskan dalam sabdanya;
“bahawa kelahiran seseorang kanak-kanak itu dalam keadaan yang suci, tetapi yang mencorakkannya menjadi kotor adalah ibubapanya”
Jadi ibubapalah yang mencorakkan sehingga kanak-kanak kotor termasuk masyarakatnya, bangsanya dan juga negaranya bersekali dengan manusia itu sendiri hanyut mengikut gelombang godaan hidupnya di dunia ini.
Oleh itu adalah menjadi tanggungjawab seorang manusia yang ingin kembali menuju jalan kesucian dan makrifat kepada Tuhannya, selayaknyalah dia mengembalikan dirinya kesuatu tahap yang dikenali “Kamilul-Kamil” atau di namakan tahap Martabat Alam Insan.
Dalam merkatakan tingkatan atau martabat pentajallian Allah Tuan Yang Empunya Diri yang menjadi rahsia manusia ianya melalui tujuh tingkatan.Tingkatan tersebut secara umumnya seperti di bawah.
1. Ahadah -Alam Lahut -Martabat Zat
2. Wahdah-Alam Jabarut - Martabat Sifat
3. Wahdiah-Alam Wahdiah - Martabat Asma
4. Alam Roh-Alam Malakut -Martabat Afaal
5. Alam Misal - Alam Bapa
6. Alam Ijsan- Alam Ibu
7. Alam Insan - Alam Nyata
1.1 ALAM AHDAH
Pada memperkatakan Alam Qaibull-Quyyub iaitu pada martabat Ahdah di mana belum ada sifat, belum ada ada asma’,belum ada afaal dan belum ada apa-apa lagi iaitu pada Martabat LA TAKYIN, Zat UlHaki telas menegaskan untuk memperkenalkan DiriNya dan untuk diberi tanggungjawab ini kepada manusia dan di tajallikanNya DiriNya dari satu peringkat ke peringkat sampai zahirnya manusia berbadan rohani dan jasmani.
Adapun Martabat Ahdah ini terkandung ia di dalam Al-Ikhlas pada ayat pertama iaitu{QulhuwallahuAhad), iaitu Sa pada Zat semata-mata dan inilah dinamakan Martabat Zat. Pada martabat ini diri Empunya Diri (Zat Ulhaki)Tuhan RabbulJalal adalah dengan dia semata-mata iaitu di namakan juga Diri Sendiri. Tidak ada permulaan dan tiada akhirnya iaitu Wujud Hakiki Lagi Khodim
Pada masa ini tida sifat,tida Asma dan tida Afa’al dan tiada apa-apa pun kecuali Zat Mutlak semata-mata maka berdirilah Zat itu dengan Dia semata-mata dai dalam keadaan ini dinamakan AINUL KAFFUR dan diri zat dinamakan Ahdah jua atau di namakan KUNNAH ZAT.
1.2 ALAM WADAH
Alam Wahdah merupakan peringkat kedua dalam proses pentajalliannya diri Empunya Diri telah mentajallikan diri ke suatu martabat sifat iaitu “La Tak Yin Sani” - sabit nyata yang pertama atau disebut juga martabat noktah mutlak iaitu ada permulaannyan.
Martabat ini di namakan martabat noktah mutlak atau dipanggil juga Sifat Muhammadiah. Juga pada menyatakan martabat ini dinamakan martabat ini Martabat Wahdah yang terkandung ia pada ayat “Allahus Shomad” iaitu tempatnya Zat Allah tiada terselindung sedikit pun meliputi 7 petala langit dan 7 bumi.
Pada peringkat ini Zat Allah Taala mulai bersifat. SifatNya itu adalah sifat batin jauh dari Nyata dan boleh di umpamakan sepohon pokok besar yang subur yang masih di dalam dalam biji , tetapi ia telah wujud,tdadak nyata, tetapi nyata sebab itulah ia di namakan Sabit Nyata Pertama martabat La Takyin Awwal iaitu keadaan nyata tetapi tidak nyata(wujud pada Allah) tetapi tidak zahir
Maka pada peringkat ini tuan Empunya Diri tidak lagi Beras’ma dan di peringkat ini terkumpul Zat Mutlak dan Sifat Batin. Maka di saat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata iaitu di dalam keadaan apa yang di kenali ROH-ADDHAFI.Pada peringkat ni sebenarnya pada Hakiki Sifat.(Kesempurnaan Sifat) Zat Al Haq yang di tajallikannya itu telah sempurna cukup lengkap segala-gala. Ianya terhimpunan dan tersembunyi di samping telah zahir pada hakikinya.
1.3 ALAM WAHDIAH
Pada peringkat ketiga setelah tajalli akan dirinya pada peringkat “La takyin Awal”, maka Empunya Diri kepada Diri rahsia manusia ini, mentajallikan pula diriNya ke satu martabat As’ma yak ini pada martabat segala Nama dan dinamakan martabat (Muhammad Munfasal) iaitu keadaan terhimpun lagi bercerai - cerai atau di namakan “Hakikat Insan.”
Martabat ini terkandung ia didalam “Lam yalidd” iaitu Sifat Khodim lagi Baqa, tatkala menilik wujud Allah. Pada martabat ini keadaan tubuh diri rahsia pada masa ini telah terhimpun pada hakikinya Zat, Sifat Batin dan Asma Batin. Apa yang dikatakan berhimpun lagi bercerai-cerai kerana pada peringkat ini sudah dapat di tentukan bangsa masing - masing tetapi pada masa ini ianya belum zahir lagi di dalam Ilmu Allah Iaitu dalam keadaan “Ainul Sabithaah”. Ertinya sesuatu keadaan yang tetap dalam rahsia Allah, belum terzahir, malah untuk mencium baunya pun belum dapat lagi. Dinamakan juga martabat ini wujud Ardhofi dan martabat wujud Am kerana wujud di dalam sekelian bangsa dan wujudnya bersandarkan Zat Allah Dan Ilmu Allah.
Pada peringkat ini juga telah terbentuk diri rahsia Allah dalam hakiki dalam batin iaitu bolehlah dikatakan juga roh di dalam roh iaitu pada menyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.
1.4 ALAM ROH
Pada peringkat ke empat di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diriNya untuk membentuk satu batang tubuh halus yang dinamaka roh. Jadi pada peringkat ini dinamakan Martabat Roh pada Alam Roh.Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia dimana batin ini sudah nyata Zatnya, Sifatnya dan Afa’alnya.Ianya menjadi sempurna, cukup lengkap seluruh anggota - anggota batinnya, tida cacat, tiada cela dan keadaan ini dinamakan (Alam Khorijah) iaitu Nyata lagi zahir pada hakiki daripada Ilmu Allah. Tubuh ini dinamakan ia “Jisim Latiff” iaitu satu batang tubuh yang liut lagi halus. Ianya tidak akan mengalami cacat cela dan tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis,asyik dan hancur binasa dan inilah yang dinamakan “KholidTullah.”
Pada martabat ini terkandung ia di dalam “Walam Yalidd”. Dan berdirilah ia dengan diri tajalli Allah dan hiduplah ia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan Tubuh Hakikat Insan yang mempunyai awal tiada kesudahannya, dialah yang sebenarnyanya dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahsia Allah dalam Diri Manusia.
1.5 ALAM MISAL
Alam Misal adalah peringkat ke
Untuk menjelaskan lagi Alam Misal ini adalah dimana unsur rohani iaitu diri rahsia Allah belum bercamtum dengan badan kebendaan. Alam misal jenis ini berada di Alam Malakut. Ia merupakan peralihan daripada alam Arwah (alam Roh) menuju ke alam Nasut maka itu dinamakan ia Alam Misal di mana proses peryataan ini ,pengujudan Allah pada martabat ini belum zahir, tetapi Nyata dalam tidak Nyata.
Diri rahsia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai di tajallikan kepada ubun - ubun bapa, iaitu permidahan dari alam roh ke alam Bapa (misal).
Alam Misal ini terkandung ia di dalam “Walam yakullahu” dalam surah Al-Ikhlas iaitu dalam keadaan tidak boleh di bagaikan. Dan seterusnya menjadi “DI”, “Wadi”, “Mani” yang kemudiannya di salurkan ke satu tempat yang bersekutu di antara diri rahsia batin (roh) dengan diri kasar Hakiki di dalam tempat yang dinamakan rahim ibu.Maka terbentuklah apa yang di katakan “Maknikam” ketika berlakunya bersetubuhan diantara laki-laki dengan perempuan (Ibu dan Bapa)
Perlu diingat tubuh rahsia pada masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya tetapi di dalam keadaan rupa yang elok dan tidak binasa dan belum lagi zahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal ia akan mati.
1.6 ALAM IJSAN
Pada peringkat ke enam, selepas sahaja rahsia diri Allah pada Alam Misal yang di kandung oleh bapa , maka berpindah pula diri rahsia ini melalui “Mani” Bapa ke dalam Rahim Ibu dan inilah dinamakan Alam Ijsan.
Pada martabat ini dinamakan ia pada martabat “InssanulKamil” iaitu batang diri rahsia Allah telahpun diKamilkan dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi “KamilulKamil”. Iaitu menjadi satu pada zahirnya kedua-dua badan rohani dan jasmani. dan kemudian lahirlah seoarang insan melalui faraj ibu dan sesungguhnya martabat kanak - kanak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling suci yang dinamakan “InnsanulKamil”. Pada martabat ini terkandung ia di dalam “Kuffuan” iaitu bersekutu dalam keadaan “KamilulKamil dan nyawa pun di masukkan dalam tubuh manusia.
Selepas cukup tempuhnya dan ketkanya maka diri rahsia Allah yang menjadi “KamilulKamil” itu di lahirkan dari perut ibunya, maka di saat ini sampailah ia Martabat Alam Insan.
1.7 ALAM INSAN
Pada alam ke tujuh iaitu alam Insan ini terkandung ia di dalam “Ahad” iaitu sa (satu). Di dalam keadaan ini, maka berkumpullah seluruh proses pengujudan dan peryataan diri rahsia Allah S.W.T. di dalam tubuh badan Insan yang mulai bernafas dan di lahirkan ke Alam Maya yang Fana ini. Maka pada alam Insan ini dapatlah di katakan satu alam yang mengumpul seluruh proses pentajallian diri rahsia Allah dan pengumpulan seluruh alam-alam yang di tempuhi dari satu peringkat ke satu peringkat dan dari satu martbat ke satu martabat.
Oleh kerana ia merupakan satu perkumpulan seluruh alam - alam lain, maka mulai alam maya yang fana ini, bermulalah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahsia Allah itu kepada Tuan Empunya Diri dan proses penyerahan kembali rahsia Allah ini hendaklah bermulah dari alam Maya ini lantaran itu persiapan untuk balik kembali asalnya mula kembali mu semula hendaklah disegerakan tanpa berlengah - lengah lagi.
2. TUJUAN MARTABAT ALAM INSAN
1.
2. “bertujuan memahami dan memegang satu keyakinan Mutlak bahawa diri kita ini sebenar - benarnya bukanlah diri kita, tetapi kembalikan semula asalnya Tuhan.”
3. Dengan kata lain untuk memperpanjangkan kajian, kita juga dapat mengetahui pada hakikatnya dari mana asal mula diri kita sebenarnya hinggalah kita zahir di alam maya ini.
4. Dalam pada itu dapat pula kita mengetahui pada hakikatnya kemana diri kita harus kembali dan:
5. Apakah tujuan sebenar diri kita di zahirkan.
3. Dalam memperkatakan Martabat Alam Insan
Dengan memahami Martabat Alam Insan ini , maka sudah pastilah kita dapat mengetahui bahawa diri kita ini adalah SifatNya Allah Taala semata-mata. Diri sifat yang di tajallikan bagi menyatakan SifatNya Sendiri yakni pada Alam saghir dan Alam Kabir.Dan Allah Taala Memuji DiriNya dengan Asma’Nya Sendiri dan Allah Taala menguji DiriNya Sendiri dengan Afa’alNya Sendiri.
Dalam memeperkatakan Martabat Alam Insan kita memperkatakan diri kita sendiri. Diri kita daripada Sifat Tuhan yang berasal daripada Qaibull-Quyyub (Martabat Ahdah) iaitu pada martabat Zat hinggalah zahir kita bersifat dengan sifat bangsa Muhammad. Oleh yang demikian wujud atau zahirnya kita ini bukan sekali-kali diri kita, tetapi sebenarnyadiri kita ini adalah penyata kepada diri Tuhan semesta alam semata-mata.
Seperti FirmanNya:
‘INNALILLA WAINNA ILAII RAJIUN’
Yang bermaksud; “Sesungguhnya diri mu itu Allah (Tuhan Asal Diri Mu) dan hendaklah kamu pulang menjadi Tuhan kembali”.
Setelah mengetahui dan memahami secara jelas lagi terang bahawa asal kita ini adalah Tuhan pada Martabat ahdah dan NyataNya kita sebagai SifatNya pada Martabat Alam Insan dan pada Alam Insan inilah kita memulakan langkah untuk mensucikan sifat diri kita ini pada martabat Sifat kepada Martabat Tuhan kembali iaitu asal mula diri kita sendiri atau Martabat Zat.
SEsungguhnya Allah S.W.T diri kita pada Martabat Ahdah menyatakan diriNya dengan SifatNya Sendiri dan memuji SifatNya Sendiri dengan AsmaNya Sendiri serta menguji SifatNya dengan afa’alNya Sendiri. Sesungguhnya tiada sesuatu sebenarnya pada diri kita kecuali diri Sifat Allah,Tuhan semesta semata - mata.
**********************@@@@******************************************
4. PROSES MENGEMBALIKAN DIRI
Dalam proses menyucikan diri dan mengembalikan rahsia kepada Tuan Empunya Rahsia, maka manusia itu semestinya mempertingkatkan kesuciannya sampai ke peringkat asal kejadian rahsia Allah Taala.
Manusia ini sebenarnya mesti menerokai dan melalui daripada Alam Insan pada nafsu amarah ke Martabat Zat iaitu nafsu Kamaliah iaitu makam “Izzatul-Ahdah”. Lantaran itulah tugas manusia semestinya mengenal hakikat diri ini lalu balik untuk mengembalikan amanah Allah S.W.T. tersebut sebagaimana mula proses penerimaan amanahnya pada peringkat awalnya.
Sesunggunya Allah dalam mengenalkan diriNya melalui lidah dan hati manusia,maka Dia telah mentajallikan DiriNya menjadi rahsia kepada diri manusia. Sebagaimana diperkatakan dalam hadis Qudsi;
“AL INSANUL SIRRUHU WA ANA SIRRUHU”
Maksudnya; “Manusia itu adalah rahsiaKu dan aku adalah rahsia manusia itu sendiri”
Mengenai martabat pengujudan diri rahsia Allah S.W.t.atau di kenali juga Martabat Tujuh, itu terbahagi ia kepada 7 Alam;
Ke tujuh-tujuh martabat atau alam ini terkandung ia di dalam surah -Al Ikhlas
QulhuwallahuAhad - Ahdah
Allahushomad - Wahdah
Lamyalidd - Wahdiah
Walamyuladd - Alam Roh (Alam Malakut)
Walamyakullahu - Alam Misal (Alam Bapa)
Kuffuan - Alam Ijsan
Ahad - Alam Insan
Seperti FirmanNya lagi dalam Al- Quran
[33] Setelah diketahui demikian maka tidaklah patut disamakan Allah Tuhan yang berkuasa mengawas tiap-tiap diri dan mengetahui akan apa yang telah diusahakan oleh diri-diri itu, (dengan makhluk yang tidak bersifat demikian). Dalam pada itu, mereka yang kafir telah menjadikan beberapa makhluk sebagai sekutu bagi Allah. Katakanlah (wahai Muhammad): Namakanlah kamu akan mereka (yang kamu sembah itu). Atau adakah kamu hendak memberi tahu kepada Allah akan apa yang tidak diketahuiNya di bumi? Atau adakah kamu menamakannya dengan kata-kata yang lahir (sedang pada hakikatnya tidak demikian)? Bahkan sebenarnya telah diperhiaskan oleh Iblis bagi orang-orang yang kafir itu akan kekufuran dan tipu daya mereka (terhadap Islam) dan mereka pula disekat oleh hawa nafsu mereka daripada menurut jalan yang benar dan (ingatlah) sesiapa yang disesatkan oleh Allah (dengan pilihannya yang salah) maka tidak ada sesiapapun yang dapat memberi hidayat petunjuk kepadanya.
Surah Al-A’Rad Ayat:33
NUR, MATA HATI DAN HATI
——————————————————————————–
NUR-NUR ILAHI ADALAH KENDERAAN HATI DAN RAHSIA HATI. NUR ITU IALAH TENTERA HATI, SEBAGAIMANA KEGELAPAN ADALAH TENTERA NAFSU. JIKA ALLAH S.W.T MAHU MENOLONG HAMBA-NYA MAKA DIBANTU DENGAN TENTERA ANWAR (NUR-NUR) DAN DIHENTIKAN BEKALAN KEGELAPAN. NUR ITU BAGINYA MENERANGI (MEMBUKA TUTUPAN), MATA HATI ITU BAGINYA MENGHAKIMKAN DAN HATI ITU BAGINYA MENGHADAP ATAU MEMBELAKANG.
—————————————————————————
Allah s.w.t hanya boleh dikenal jika Dia sendiri mahu Dia dikenali. Jika Dia mahu memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka hati hamba itu akan dipersiapkan dengan mengurniakannya warid. Hati hamba diterangi dengan Nur-Nya. Tidak mungkin mencapai Allah s.w.t tanpa dorongan yang kuat dari Nur-Nya. Nur-Nya adalah kenderaan bagi hati untuk sampai ke Hadrat-Nya. Hati adalah umpama badan dan roh adalah nyawanya. Roh pula berkait dengan Allah s.w.t dan perkaitan itu dinamakan as-Sir (Rahsia). Roh menjadi nyawa kepada hati dan Sir menjadi nyawa kepada roh. Boleh juga dikatakan bahawa hakikat kepada hati adalah roh dan hakikat kepada roh adalah Sir. Sir atau Rahsia yang sampai kepada Allah s.w.t dan Sir yang masuk ke Hadrat-Nya. Sir yang mengenal Allah s.w.t. Sir adalah hakikat kepada sekalian yang maujud.
Nur Ilahi menerangi hati, roh dan Sir. Nur Ilahi membuka bidang hakikat-hakikat. Amal dan ilmu tidak mampu menyingkap rahsia hakikat-hakikat. Nur Ilahi yang berperanan menyingkap tabir hakikat. Orang yang mengambil hakikat dari buku-buku atau dari ucapan orang lain, bukanlah hakikat sebenar yang ditemuinya, tetapi hanyalah sangkaan dan khayalan semata-mata. Jika mahu mencapai hakikat perlulah mengamalkan wirid sebagai pembersih hati. Kemudian bersabar menanti sambil terus juga berwirid. Sekiranya Allah s.w.t kehendaki warid akan didatangkan-Nya kepada hati yang asyik dengan wirid itu. Itulah kejayaan yang besar boleh dicapai oleh seseorang hamba semasa hidupnya di dunia ini.
Alam ini pada hakikatnya adalah gelap. Alam menjadi terang kerana ada kenyataan Allah s.w.t padanya. Misalkan kita berdiri di atas puncak sebuah bukit pada waktu malam yang gelap gelita. Apa yang dapat dilihat hanyalah kegelapan. Apabila hari siang, matahari menyinarkan sinarnya, kelihatanlah tumbuh-tumbuhan dan haiwan yang menghuni bukit itu. Kewujudan di atas bukit itu menjadi nyata kerana diterangi oleh cahaya matahari. Cahaya menzahirkan kewujudan dan gelap pula membungkusnya. Jika kegelapan hanya sedikit maka kewujudan kelihatan samar. Sekiranya kegelapan itu tebal maka kewujudan tidak kelihatan lagi. Hanya cahaya yang dapat menzahirkan kewujudan, kerana cahaya dapat menghalau kegelapan. Jika cahaya matahari dapat menghalau kegelapan yang menutupi benda-benda alam yang nyata, maka cahaya Nur Ilahi pula dapat menghalau kegelapan yang menutup hakikat-hakikat yang ghaib. Mata di kepala melihat benda-benda alam dan mata hati melihat kepada hakikat-hakikat. Banyaknya benda alam yang dilihat oleh mata kerana banyaknya cermin yang membalikkan cahaya matahari, sedangkan cahaya hanya satu jenis sahaja dan datangnya dari matahari yang satu jua. Begitu juga halnya pandangan mata hati. Mata hati melihat banyaknya hakikat kerana banyaknya cermin hakikat yang membalikkan cahaya Nur Ilahi, sedangkan Nur Ilahi datangnya dari nur yang satu yang bersumberkan Zat Yang Maha Esa.
Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah daripada kebenaran. Hatilah yang tertutup sedangkan kebenaran tidak tertutup. Dalil atau bukti yang dicari bukanlah untuk menyatakan kebenaran tetapi adalah untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang benderang bagi melihat kebenaran yang sememangnya tersedia ada, bukan mencari kebenaran baharu. Cahayalah yang menerangi atau membuka tutupan hati. Nur Ilahi adalah cahaya yang menerangi hati dan mengeluarkannya dari kegelapan serta membawanya menyaksikan sesuatu dalam keadaannya yang asli. Apabila Nur Ilahi sudah membuka tutupan dan cahaya terang telah bersinar maka mata hati dapat memandang kebenaran dan keaslian yang selama ini disembunyikan oleh alam nyata. Bertambah terang cahaya Nur Ilahi yang diterima oleh hati bertambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya. Pengetahuan yang diperolehi melalui pandangan mata hati yang bersuluhkan Nur Ilahi dinamakan ilmu laduni atau ilmu yang diterima dari Allah s.w.t secara langsung. Kekuatan ilmu yang diperolehi bergantung kepada kekuatan hati menerima cahaya Nur.
Ilahi.
Murid yang masih pada peringkat permulaan hatinya belum cukup bersih, maka cahaya Nur Ilahi yang diperolehinya tidak begitu terang. Oleh itu ilmu laduni yang diperolehinya masih belum mencapai peringkat yang halus-halus. Pada tahap ini hati boleh mengalami kekeliruan. Kadang-kadang hati menghadap kepada yang kurang benar dengan membelakangkan yang lebih benar. Orang yang pada peringkat ini perlu mendapatkan penjelasan daripada ahli makrifat yang lebih arif. Apabila hatinya semakin bersih cahaya Nur Ilahi semakin bersinar meneranginya dan dia mendapat ilmu yang lebih jelas. Lalu hatinya menghadap kepada yang lebih benar, sehinggalah dia menemui kebenaran hakiki.
TERBUKA MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN HAMPIRNYA ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN KETIADAAN KAMU DI SAMPING WUJUD ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN HAKIKI MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU HANYA ALLAH YANG WUJUD, TIDAK TERLIHAT LAGI KETIADAAN KAMU DAN WUJUD KAMU.
Apabila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyedari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesedaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa hampirnya Allah s.w.t dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahawa Allah s.w.t sentiasa mengawasinya. Allah s.w.t melihat segala gerak-gerinya, mendengar pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan berwaspada.
1. Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin ialah: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.
2. Hati tidak cenderung kepada harta, berasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.
3. Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.
4. Rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah s.w.t.
5. Kehalusan kerohaniannya membuatnya berasa malu kepada Allah s.w.t dan merendah diri kepada-Nya.
1. Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin ialah: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.
2. Hati tidak cenderung kepada harta, berasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.
3. Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.
4. Rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah s.w.t.
5. Kehalusan kerohaniannya membuatnya berasa malu kepada Allah s.w.t dan merendah diri kepada-Nya.
Orang Mukmin yang taat kepada Allah s.w.t, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid iaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah s.w.t. Dia tidak lagi khuatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang besar. Dia tidak lagi meletakkan pergantungan kepada sesama makhluk. Hatinya telah teguh dengan perasaan reda terhadap apa jua yang ditentukan Allah s.w.t untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama iaitu takdir yang Allah s.w.t tentukan untuknya. Apa yang Allah s.w.t takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang seperti ini sentiasa di dalam penjagaan Allah s.w.t kerana dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t. Allah s.w.t kurniakan kepadanya keupayaan untuk melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui fikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan. Pandangan mata hati kepada hal ketuhanan memberi kesan kepada hatinya (kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia menafikan kewujudan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah s.w.t. Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati.. Dia berasa benar-benar akan keesaan Allah s.w.t bukan sekadar mempercayainya.
Pengalaman tentang hakikat dikatakan memandang dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan Allah s.w.t dan hati merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud Allah s.w.t, tidak lagi melihat kepada wujud dirinya. Orang yang di dalam suasana seperti ini telah berpisah dari sifat-sifat kemanusiaan. Dalam berkeadaan demikian dia tidak lagi mengendahkan peraturan masyarakat. Dia hanya mementingkan soal perhubungannya dengan Allah s.w.t. Soal duniawi seperti makan, minum, pakaian dan pergaulan tidak lagi mendapat perhatiannya. Kelakuannya boleh menyebabkan orang ramai menyangka dia sudah gila. Orang yang mencapai peringkat ini dikatakan mencapai makam tauhid sifat. Hatinya jelas merasakan bahawa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah s.w.t dan segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t.
Rohani manusia melalui beberapa peningkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tahap pertama terbuka mata hati dan Nur Kalbu memancar menerangi akalnya. Seorang Mukmin yang akalnya diterangi Nur Kalbu akan melihat betapa hampirnya Allah s.w.t. Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang dinamakan ilmul yaqin. Ilmu berhenti di situ. Pada tahap keduanya mata hati yang terbuka sudah boleh melihat. Dia tidak lagi melihat dengan mata ilmu tetapi melihat dengan mata hati. Keupayaan mata hati memandang itu dinamakan kasyaf. Kasyaf melahirkan pengenalan atau makrifat. Seseorang yang berada di dalam makam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperolehi keyakinan yang dinamakan ainul yaqin. Pada tahap ainul yaqin makrifatnya ghaib dan dia juga ghaib dari dirinya sendiri. Maksud ghaib di sini adalah hilang perhatian dan kesedaran terhadap sesuatu perkara.. Beginilah hukum makrifat yang berlaku.
Labels:
HAKIKAT
Thursday, 14 July 2011
"ASSALAMMUALAIKUM,Penyakitmu ada dalam tubuhmu,tapi tidak kamu ketahui.Dan obatnya ada dalam dirimu tapi tidak kamu lihat!"
"APA ITU MAKRIFAT? MAKRIFATULLAH! ILMU PARA WALI-WALI DAN GOLONGAN SAUFI!"
"MENGENALI, MENCARI, DIMANA ALLAH, APA ITU USULUDDIN?, MAKRIFAT, ALAM INSAN, ALAM ROH, ZAHIR DAN BATHIN, SIRR, RAHSIA KEINSANAN, ISLAM SEJATI."
Ada pun makrifat itu rahsianya ialah mengenal Zat Allah dan Zat Rasulullah, oleh kerana itulah makrifat dimulakan:
Makrifat diri yang zahir.
Makrifat diri yang bathin.
Makrifat Tuhan.
APA GUNA MAKRIFAT?
Ada pun guna makrifat kerana mencari HAKIKAT iaitu mengenal yang Qadim dan mengenal yang baharu sebagaimana kata:
"BAITULLAH KALBU MUKMININ"
Sesungguhnya hati ini sewaktu bayi sehingga aqil baliq diibaratkan bunga yang sedang menguntum,tidak ada seekor ulat atau kumbang yang dapat menjelajahnya!apabila dewasa (aqil baliq) maka hati itu ibaratkan bunga yang sedang mengembang,maka masuklah ulat dan kumbang menjelajah bunga itu!
Sesungguhnya amalan makrifat dan zikir yang dibaiah itu adalah untuk membersihkan hati agar dapat menguntum semula seperti hati kanak-kanak yang suci-bersih!
Hati ini juga seperti satu bekas menyimpan gula yang tertutup rapat dan dijaga dengan baik!sekiranya tutup itu tidak jaga dengan baik atau tutupnya sudah rosak,maka masuklah semut hitam yang sememangnya gula itu makanannya!
"PEPERANGAN"
Peperangan yang lebih besar dari perang UHUD, KHANDAK dan lain-lain peperangan ialah "Peperangan dalam diri sendiri (Hati)", setiap saat denyut jantung ku ini, aku akan terus berperang.Sesungguhnya iblis itu menanti saat dan ketika untuk merosakkan anak Adam !Sekiranya aku tidak ada bersenjata (zikir), nescaya aku pasti kecundang!
Keluar masuk nafas anak Adam adalah zikir! 6,666 sehari semalam nafas keluar dan masuk, sekiranya anak Adam tidak bersenjata, pasti ia kecundang!
ASAL USUL MAKRIFAT
Rasulullah SAW mengajar kepada sahabatnya Saidina Ali Karamullah.
Saidina Ali Karamullah mengajar kepada Imam Abu Hassan Basri.
Imam Abu Hassan Basri mengajar kepada Habib An Najmi.
Habib An Najmi mengajar kepada Daud Attaie.
Daud Attaie mengajar kepada Maaruf Al Karhi.
Maaruf Al Karhi mengajar kepada Sirris Sakatari.
Sirris Sakatari mengajar kepada Daud Assakatar.
Daud Assakatar mengajar kepada Al Junidi.
Maka Al Junidi yang terkenal sebagai pengasas MAKRIFAT.
Maka pancaran makrifat itu dari empat sumber iaitu:
Pancaran daripada sumber SULUK yang dinamakan Makrifat Musyahadah.
Pancaran daripada sumber KHALUAT yang dinamakan Makrifat Insaniah.
Pancaran daripada Inayah yang dinamakan ROHANI.
Pancaran daripada Pertapaan yang dinamakan JIRIM.
Maka dari sumber amalan itulah terbit makrifat yang tinggi dan mempunyai rahsia yang sulit.
DARI BUKU MENGENAL ROH JILID II,OLIH HJ.A.TALIB NAIEM AS SAUPI)
ACARA MAKRIFAT
(Dari Mengenal Roh Jilid II Oleh Hj.A.Talib Naiem As Saupi)
Kaedah-kaedah makrifat yang tertentu didalam satu tujuan dan maksud serta amalan adalah mempunyai tata tertib yang tertentu, menurut Musyaikh masing-masing.
oleh kerana itulah didalam ajaran Makrifat atau Roh ertinya mempelajari Ilmu Makrifat atau Roh tidak boleh mempunyai dua syeikh akibatnya:
Adapun Ilmu Hakikat itulah yang dirahsiakan oleh para Wali-Wali Allah dan Ulamak Mursyidin.
Orang-orang yang telah sampai pada Makrifat Roh ialah menuju kepada Makrifat Sirr.Orang-orang yang didalam pelajaran atau beramal dengan Makrifat Kalbun tidak diharuskan mempunyai dua Syeikh,kerana Makrifat Kalbun itu adalah permulaan.
Didalam Makrifat Kalbun itu ialah supaya dapat kepada:
MENGENAL MAKRIFAT.
Dinamakan Makrifat itu ialah:
Maka sebaik-baik makrifat itu dinamakan ZUK.
Maka semulia-mulia makrifat itu dinamakan MAJZUB.
Maka makrifat itu terbahagi enam perkara iaitu:
Adapun guna MAKRIFAT itu ialah tiga perkara, iaitu:
Beliau terkenal dengan nama Ahli Makrifat Ittihad. Maka muridnya yang bernama Ibni Khilaj terkenal dengan nama Ahli Makrifat Hulul.
PINTU MAKRIFAT
Pintu Makrifat itu empat:
Pintu Makrifat orang-orang Syariat sama ada mengetahui atau tidak, ialah lubang mulutnya.
Pintu Makrifat orang-orang Tarekat adalah lubang hidungnya.
Pintu Makrifat orang-orang Hakikat ialah dua biji matanya.
Pintu Makrifat orang-orang Makrifat diantara dua keningnya, yang dinamakan wajah.
ATURAN MEMPELAJARI MAKRIFAT.
MAKRIFAT EMPAT PERKARA.
Adapun makrifat tarekat itu makrifat diri yang terdiri (hati).
Adapun makrifat hakikat itu makrifat diri yang terperi (nyawa).
Adapun makrifat sirr itu makrifat diri yang azali (rahsia).
Adapun guna makrifat itu mencari hakikat yang Kamil, oleh kerana itulah apabila telah jadi Ahli Hakikat yang Kamil atau dinamakan Ahli Laduni dan termasuk bilangan Ariffin Billah yang besar maka tidak ada makrifat lagi padanya.
Orang-orang yang sedemikian rupa adalah termasuk bilangan martabat Wasil.
Adapun hakikat yang belum kamil dinamakan:
Maka Ahli Makrifat yang mempunyai darjat yang tinggi dinamakan iaitu:
"APA ITU MAKRIFAT? MAKRIFATULLAH! ILMU PARA WALI-WALI DAN GOLONGAN SAUFI!"
"MENGENALI, MENCARI, DIMANA ALLAH, APA ITU USULUDDIN?, MAKRIFAT, ALAM INSAN, ALAM ROH, ZAHIR DAN BATHIN, SIRR, RAHSIA KEINSANAN, ISLAM SEJATI."
Ada pun makrifat itu rahsianya ialah mengenal Zat Allah dan Zat Rasulullah, oleh kerana itulah makrifat dimulakan:
APA GUNA MAKRIFAT?
Ada pun guna makrifat kerana mencari HAKIKAT iaitu mengenal yang Qadim dan mengenal yang baharu sebagaimana kata:
"BAITULLAH KALBU MUKMININ"
Sesungguhnya hati ini sewaktu bayi sehingga aqil baliq diibaratkan bunga yang sedang menguntum,tidak ada seekor ulat atau kumbang yang dapat menjelajahnya!apabila dewasa (aqil baliq) maka hati itu ibaratkan bunga yang sedang mengembang,maka masuklah ulat dan kumbang menjelajah bunga itu!
Sesungguhnya amalan makrifat dan zikir yang dibaiah itu adalah untuk membersihkan hati agar dapat menguntum semula seperti hati kanak-kanak yang suci-bersih!
Hati ini juga seperti satu bekas menyimpan gula yang tertutup rapat dan dijaga dengan baik!sekiranya tutup itu tidak jaga dengan baik atau tutupnya sudah rosak,maka masuklah semut hitam yang sememangnya gula itu makanannya!
"PEPERANGAN"
Peperangan yang lebih besar dari perang UHUD, KHANDAK dan lain-lain peperangan ialah "Peperangan dalam diri sendiri (Hati)", setiap saat denyut jantung ku ini, aku akan terus berperang.Sesungguhnya iblis itu menanti saat dan ketika untuk merosakkan anak Adam !Sekiranya aku tidak ada bersenjata (zikir), nescaya aku pasti kecundang!
Keluar masuk nafas anak Adam adalah zikir! 6,666 sehari semalam nafas keluar dan masuk, sekiranya anak Adam tidak bersenjata, pasti ia kecundang!
ASAL USUL MAKRIFAT
Rasulullah SAW mengajar kepada sahabatnya Saidina Ali Karamullah.
Saidina Ali Karamullah mengajar kepada Imam Abu Hassan Basri.
Imam Abu Hassan Basri mengajar kepada Habib An Najmi.
Habib An Najmi mengajar kepada Daud Attaie.
Daud Attaie mengajar kepada Maaruf Al Karhi.
Maaruf Al Karhi mengajar kepada Sirris Sakatari.
Sirris Sakatari mengajar kepada Daud Assakatar.
Daud Assakatar mengajar kepada Al Junidi.
Maka Al Junidi yang terkenal sebagai pengasas MAKRIFAT.
Maka pancaran makrifat itu dari empat sumber iaitu:
Maka dari sumber amalan itulah terbit makrifat yang tinggi dan mempunyai rahsia yang sulit.
DARI BUKU MENGENAL ROH JILID II,OLIH HJ.A.TALIB NAIEM AS SAUPI)
ACARA MAKRIFAT
(Dari Mengenal Roh Jilid II Oleh Hj.A.Talib Naiem As Saupi)
Kaedah-kaedah makrifat yang tertentu didalam satu tujuan dan maksud serta amalan adalah mempunyai tata tertib yang tertentu, menurut Musyaikh masing-masing.
oleh kerana itulah didalam ajaran Makrifat atau Roh ertinya mempelajari Ilmu Makrifat atau Roh tidak boleh mempunyai dua syeikh akibatnya:
- Sia-sia,tidak mendapat Taufik atau Hidayah.
- Gila Isim.
Adapun Ilmu Hakikat itulah yang dirahsiakan oleh para Wali-Wali Allah dan Ulamak Mursyidin.
Orang-orang yang telah sampai pada Makrifat Roh ialah menuju kepada Makrifat Sirr.Orang-orang yang didalam pelajaran atau beramal dengan Makrifat Kalbun tidak diharuskan mempunyai dua Syeikh,kerana Makrifat Kalbun itu adalah permulaan.
Didalam Makrifat Kalbun itu ialah supaya dapat kepada:
- FUAD
Setelah ada Fuad maka menuju kepada yang lebih tinggi iaitu Kalbun.
Setelah seseorang itu ada Fuad dan Kalbun maka barulah ada kepada nya hati yang bernama Kalbi atau Latifah Kalbi.
Setelah orang itu ada Kalbi ertinya dia adalah seorang Mukmin yang de-facto disisi Allah dan kepadanya Roh yang bernama Rohani dan jiwanya yang bernama Mutmainah.
Dengan itu tamatlah Makrifat Kalbun kepadanya dan melangkah pada Makrifat Roh. Maka hijab yang amat besar diantara Rohani dengan nyawanya yang bernama Roh Izapi ialah Rohul Kudus.
Barangsiapa yang tidak sampai kepada Rohul Kudus maka tidaklah sampai kepada Roh Izapi.
Maka apa yang disebutkan itu ialah Makrifat Roh. Barangsiapa yang telah sampai kepada darjat Makrifat Roh baharulah Allah Ta'ala anugerahkan kepadanya Makrifat Sirr.
Maka barangsiapa yang Allah telah anugerahlkan kepadanya Makrifat Sirr, maka barulah terbuka hijab yang menuju kepada Wahdatul Ujud atau Sirrul Ujud, samada Makrifat Hulul baikpun Makrifat Ittihad.
Orang yang mula mencetuskan kembali ajaran Makrifat itu ialah, Al Junidi Al Baghdadi, beliau adalah Ghauth dalam zamannya.
MENGENAL MAKRIFAT.
Dinamakan Makrifat itu ialah:
- Mengetahui dari mula sampai akhir.
- Nampak terbentang luas dan nyata.
- Renong dengan mata kepala sendiri.
- Renong dengan mata hati.
Maka sebaik-baik makrifat itu dinamakan ZUK.
Maka semulia-mulia makrifat itu dinamakan MAJZUB.
Maka makrifat itu terbahagi enam perkara iaitu:
- Makrifat KALBUN ertinya renungan hati.
- Makrifat ROH ertinya renungan roh.
- Makrifat SIRR ertinya renungan rahsia.
- Makrifat DAIM ertinya mengenal diri.
- Makrifat HULUL ertinya renungan Wahdatul Ujud.
- Makrifat ITTIHAD ertinya renungan Wahdatul Ujud.
Adapun guna MAKRIFAT itu ialah tiga perkara, iaitu:
- Makrifat dirinya.
- Makrifat hamba.
- Makrifat ketuhanan.
Beliau terkenal dengan nama Ahli Makrifat Ittihad. Maka muridnya yang bernama Ibni Khilaj terkenal dengan nama Ahli Makrifat Hulul.
PINTU MAKRIFAT
Pintu Makrifat itu empat:
Pintu Makrifat orang-orang Syariat sama ada mengetahui atau tidak, ialah lubang mulutnya.
Pintu Makrifat orang-orang Tarekat adalah lubang hidungnya.
Pintu Makrifat orang-orang Hakikat ialah dua biji matanya.
Pintu Makrifat orang-orang Makrifat diantara dua keningnya, yang dinamakan wajah.
ATURAN MEMPELAJARI MAKRIFAT.
- Taat pada Allah Ta'ala.
- Jangan Putus asa.
- Jangan besar hati.
- Jangan takbur.
- Berharap pada Allah Ta'ala untuk mendapat Hidayat atau Taufik.
- Redha menyerahkan diri pada hukum Allah.
MAKRIFAT EMPAT PERKARA.
- Makrifat Syariat ---- kajian zahir sahaja.
- Makrifat Tarekat ---- kajian batin.
- Makrifat Hakikat ---- kajian ghaib.
- Makrifat Sirr ---- kajian rahsia.
Adapun makrifat tarekat itu makrifat diri yang terdiri (hati).
Adapun makrifat hakikat itu makrifat diri yang terperi (nyawa).
Adapun makrifat sirr itu makrifat diri yang azali (rahsia).
Adapun guna makrifat itu mencari hakikat yang Kamil, oleh kerana itulah apabila telah jadi Ahli Hakikat yang Kamil atau dinamakan Ahli Laduni dan termasuk bilangan Ariffin Billah yang besar maka tidak ada makrifat lagi padanya.
Orang-orang yang sedemikian rupa adalah termasuk bilangan martabat Wasil.
Adapun hakikat yang belum kamil dinamakan:
- Ahli Kasyap itu setingi-tinggi makrifat.
- Ahli Zuki itu sebaik-baik makrifat.
- Ahli Majzub itu semulia-mulia makrifat.
Maka Ahli Makrifat yang mempunyai darjat yang tinggi dinamakan iaitu:
- Ahli Musyahadah.
- Ahli Insaniah.
- Ahli Rohaniah.
- Ahli Jirim.
Sungguh berlainan nama dan berlainan pancaran tetapi adalah mempunyai sama taraf dan darjat sebagai orang-orang yang telah dipilih Allah.
Maka bawah daripada empat pancaran yang tersebut dinamakan Makrifat Kalbun. Adapun Kalbun itu ialah Roh. Adapun kadar makrifat kalbun ini atau makrifat permulaan, maka bagi mereka yang tersebut itu menghendaki ada mempunyai sahabat.
Sahabat-sahabatnya ialah yang didalam dirinya yang dinamakan Fuad.
FUAD
Adapun FUAD itu ialah ROH. Apabila seseorang itu telah bersahabat dengan Fuad dan mengenal Fuad, maka Fuad itulah yang memberitahu sesuatu apa yang ditanyanya dengan syarat jangan ditekan atau dipengaruhi dengan sesuatu kepada Fuad itu.
Jelasnya hendaklah Fuad itu dikosongkan. Maka Fuad itulah yang memberitahu dengan rengkasnya, umpama SiAnu itu jahat, SiAnu itu tidak amanah, SiAnu itu munafik. Maka kata-katanya itu hendaklah dituruti dan jangan cuba alihkan dan jangan berbohong.
Kerana apa yang dikatakan Fuad itu tidak boleh dusta. Untuk bersahabat dengan Fuad itu maka ma'rifat itulah yang perlu menurut sebagaimana peraturan dan cara-cara dari seorang Syeikh atau Khalifah, kerana tiap-tiap Syeikh dan Khalifah ada Musyaikhnya.
Dan tiap-tiap Musyaikh itu ada Syeikh Ul Musyaikhnya. Maka hubungan Musyaikh dengan kadar-kadar itu adalah pada Fuad. Oleh itu kajian Fuad hendaklah masak.
Adapun Fuad itu untuk hal ehwal keduniaan. Adapun Kalbun itu untuk hal ehwal akhirat. Seorang yang ada Fuad ertinya dapat berhubung dengan Fuadnya, dia adalah seorang muslim yang de-facto, maka seseorang yang ada Kalbun ertinya dapat berhubung dengan Kalbunnya,
dia adalah seorang Mukmin yang de-facto.Maka barangsiapa yang ada mempunyai Fuad dan Kalbun maka darjat hatinya dinamakan Hati Jamal atau Kalbi iani Aghyar maka dinamakan celik iaitu sudah celik dua mata hatinya, maka orang yang demikian rupalah orang yang telah sempurna Mukminnya.
Adapun Fuad itu rupanya ibarat kelumpang telur yang putih dan ia diam dalam jantung. Maka jantung itu terbahagi dua:
- Dinamakan jantung sinobari, rumah syaitan dan bangsa syaitan.
- Dinamakan jantung nurani dan jasmani itu rumahnya yang sebenarnya ialah didalam Fuad.
Firman Allah: "Tidak berdusta apa yang dikatakan oleh Fuad".
Maka tangga pertama pada ahli ma'rifat kalbun ialah bersahabat baik dengan Fuad. Pada Fuadlah tempat bertanyakan sesuatu yang dimusykilkan berkenaan dengan apa jua pekerjaan, iaitu urusan keduniaan. Kalau hendak bersahabat dengan Fuad maka cara-cara dan tata tertibnya baikpun doa-doanya, wiridnya hendaklah dipelajari pada seorang guru yang Mursyid.Maka hendakalah dipatuhi dan diamalkan oleh kadar-kadar ma'rifat itu hingga Allah memberikan faham cahayaNya. Maka tempat Fuad yang kotor itu hendaklah dicuci terlebih dahulu hingga segala kotor-kotor, karat-karat dan sampah sarap yang ada didalamnya itu tidak ada lagi, baharulah jantung itu ibarat permata telah bersinar kembali cahayanya! Maka pencuci kotor dan karat yang didalam jantung itu ialah dengan Ayer Nur.
Untuk mengetahui Ayer Nur itu hendaklah belajar pada guru yang Mursyid. Guru-guru sifat puluh, guru-guru Aka'idal Iman, tidak ada pengetahuan berkenaan dengan Ayer Nurani itu.Mencuci tubuh zahir dengan ayer, mencuci Fuad dengan Ayer Nur, mencuci tubuh batin itu dengan Mujahidah, atau Ayer Utama Jiwa. Adapun Ayer Utama Jiwa itu bukan ada didalam bukit-bukit sebagaimana dusta khayal pena pengarang cerpen Iskandar Zulkarnain dengan Nabi Khidir. Adapun Ayer Utama Jiwa itu ada didalam tubuh batin manusia sendiri. Maka Ayer Utama Jiwa itulah yang mencucikan.
SERUAN PADA WALI SEMBILAN DUNIA.
- Assalamalaika Ya Ghauth Paukal Ka'bah,
Doa hamba kehadrat Rabbul Alamin,
Supaya hamba mertabat Muhibbah,
Insya'allah hamba ibadat Sallehin. - Assalamualaikum Ya Autad,
Doakan hamba mendapat berkat,
Umat Islam muafakat,
Hati hamba dengan Nur Makrifat. - Assalamualaikum Ya Akhpia,
Doakan hamba berisma' Aspia,
jiwa hamba mertabat Mutmainnah,
Diakhirat terjauh dari fitnah. - Assalamualaikum Ya Ghuraba',
Doakan hamba supaya Mubarak,
Jasad, hati, nyawa, jadi suci.
Kehadrat Allah hamba berbakti. - Assalamualaikum Ya Akhbar,
Kehadrat Allah tolonglah khabar,
Supaya hamba berdarjat sabar,
Jadi Mukmin yang Muktabar. - Assalamualaikum Ya Ahiar,
Doakan hamba jadi Aghiar,
Supaya ibadat dengan takwa,
Terjauh daripada makanan Hawa. - Assalamualaikum Ya Afrad,
Doakan hamba kehadrat Allah Ahad,
Semoga hamba dalam 'Afiat,
Dapat mengerjakan amal ibadat. - Assalamualaikum Ya Nukba,
Doakanlah hamba supaya Istiqimah,
Aib diri hamba supaya nampak,
Menerima Nurul Hadi menjadi Mukaddamah. - Assalamualaikum Ya Immad,
kehadrat Allah tolonglah semat,
Dunia akhirat hamba selamat,
Masuk naungan panji Muhammad. - Tuan-Tuan para Wali-Wali,
Kekasih Tuhan yang azali,
Ya Kekasih Allah, Ya Kekasih Allah,
Ya Wakil Allah, Ya Wakil Allah,
Yang penuh setia, taat pada Rasulullah.
MARTABAT TUJUH.
Wujud Allah Ta'ala yang wajibul-wujud yang Esa dapat dikenal dengan tujuh martabat (tingkatan) : - Ahadiyyatul ahadiyyah/ an-la ta'ayyun/ al-ithlaq/ dzatul-baht:
Keadaan semata-mata wujud zat (esensi) Allah subhanahu wata'ala yang Esa, yakni memandang dengan hatinya akan semata-mata wujud zat (esensi) Allah ta'ala dengan tiada ikhtibar sifatNya dan Asma (nama-nama) Nya dan Afa'al (perbuatan-perbuatan) Nya. - Al-Wahidah/ at-ta'ayyun al-awwal/ haqiqat al-muhammadiyah:
Yaitu ibarat daripada ilmu Allah ta'ala dengan wujud zat (esensi) Nya dan segala sifatNya dan segala yang maujud atas jalan perhimpunan, dengan tiada beza setengahnya dengan setengah(Nya). - Al-wahidiyah/ haqiqat al-insaniyyah.
Yaitu ibarat daripada ilmu Allah ta'ala mengenai zat (esensi) Nya dan segala sifatNya dan segala makhluk atas jalan perceraiannya setengahnya daripada setengahnya. - Alam al-arwah.
Martabat yang keempat ini dinamakan pula Nur Muhammad SAW. yaitu ibarat daripada keadaan suatu yang halus yang semat-mata,yang belum menerima susun dan belum berbeza setengahnya (daripada setengahnya). - Alam al-misal.
Yaitu ibarat daripada keadaan suatu yang halus, yang tiada menerima susun, yang tiada dapat diceraikan setengahnya daripada setengahnya,
dan tiada menerima pesuk dan tiada menerima bertampal. Perceraian daripada roh yang tersebut itu, kerana asal roh itu satu jua, maka berbilang-bilang didalam itu dengan beberapa rupa yang berbeza rupanya, maka yaitu dinamakan alam misal, dan dimisalkan oleh kaum sufi akan alam roh itu laut dan alam misal itu seperti ombak yang didalamnya. - 'Alam al-ajsam.
Yaitu ibarat daripada keadaan suatu yang dipersusun daripada empat perkara, yakni dipersusun daripada api dan angin, dan tanah dan air, sekalian yang kasar yang menerima bersusun dan bercerai-cerai setengahnya daripada setengahnya. - 'Alam al-jami'ah.
Yaitu martabat yang menghimpunkan sekalian martabat yang enam dahulu itu, yaitu martabat Al-insan, dan dinamakan pula akan martabat yang ketujuh ini akan martabat at-ta'ayyun Al-akhir, yakni kenyataan zahir Allah ta'ala yang kemudian sekali.
(dipetik dari ajaran Syaikh 'Abdus-Samad Al-Palimbani ulama Plembang Abad ke-18 masehi)
Labels:
KESUFIAN
Subscribe to:
Posts (Atom)